
Profesi Pelaut Menjawab Problem Pengangguran
Profesi Pelaut Menjawab Problem Pengangguran
Dr. Winarno, S.SiT., M.H.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta
Sektor ketenagakerjaan masih menjadi salah satu tantangan fundamental dalam pembangunan nasional Indonesia. Selain pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meningkat sejak awal tahun ini, sektor ketenagakerjaan juga menghadapi masalah klasik yaitu pengangguran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran Indonesia pada Februari 2025 menembus 7,28 juta orang atau meningkat 83.000 orang daripada Februari 2024 sebanyak 7,20 juta orang. Untungnya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di level 4,76%, sedikit menurun dari 4,82% setahun sebelumnya.
Lonjakan total pengangguran sebagian disebabkan bertambahnya angkatan kerja baru yaitu lulusan baru, dan pencari kerja baru. Kelompok lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) menyumbang porsi terbesar dari pengangguran terbuka di Indonesia.
Selain lulusan SMA dan SMK, lulusan perguruan tinggi memiliki tingkat pengangguran tinggi secara proporsional. Hal itu menunjukkan adanya misalignment antara kualifikasi dan lapangan kerja—serta persaingan yang cukup ketat di sektor formal. Akibatnya, sektor informal menyerap hampir 59% dari total pekerja nasional. Hal itu mencerminkan adanya mismatch antara dunia pendidikan dan kebutuhan riil pasar kerja.
Dalam situasi ini, kita membutuhkan solusi strategis, bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga untuk membuka akses ke sektor kerja yang menjanjikan. Salah satu sektor yang memiliki potensi besar tetapi belum digarap optimal adalah profesi pelaut.
Kebutuhan pekerja terampil khususnya pelaut di Indonesia ternyata masih tinggi, terutama untuk posisi perwira kapal dan awak kapal.
Kementerian Perhubungan memproyeksikan Indonesia membutuhkan tenaga pelaut mencapai sekitar 8.600 orang per tahun atau 43.806 orang dalam 5 tahun mendatang. Jumlah itu terdiri atas 18.774 pelaut kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas dasar. Tingginya kebutuhan pelaut mengacu pada terus berkembangnya moda transportasi laut di Indonesia.
Menurut laporan BIMCO/ICS Seafarer Workforce Report 2021, dunia membutuhkan tambahan sekitar 89.510 perwira kapal hingga tahun 2026 untuk mendukung industri pelayaran global yang terus berkembang. Indonesia, sebagai negara maritim dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki posisi geografis dan demografis yang sangat strategis untuk menjadi penyuplai pelaut profesional ke pasar dunia.
Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai peluang di sektor pelayaran dan masih terbatasnya kapasitas lembaga pendidikan dan pelatihan pelaut menjadi kendala utama. Padahal, dengan standar pendidikan yang sesuai International Maritime Organization (IMO), profesi pelaut bisa menjadi jawaban konkret atas tingginya angka pengangguran, terutama di kalangan pemuda.
Sampai saat ini, pendidikan dan pelatihan pelaut di Indonesia sebagian besar diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Kementerian Lembaga (PTKL) di bawah naungan Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).
Saat ini, terdapat 11 Unit Pelaksana Teknis (UPT) pendidikan pelayaran seperti Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, dan PIP Makassar serta Politeknik Pelayaran (Poltekpel) Surabaya, Banten, Sorong, Sumatra Barat (Sumbar) dan Minahasa Selatan (Minsel) yang secara konsisten mencetak lulusan pelaut dengan standar internasional.
Kontribusi PTKL ini nyata. Berdasarkan data BPSDMP, pada tahun 2024 saja lebih dari 12.000 lulusan dari lembaga-lembaga ini telah memperoleh Certificate of Competency (CoC) dan sebagian besar di antaranya langsung terserap di dunia kerja, baik domestik maupun internasional.
Lembaga-lembaga ini juga menjadi garda depan dalam mendukung implementasi mandatory IMO, khususnya STCW (Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers), yang menjamin bahwa pelaut Indonesia memiliki kualitas yang diakui secara global.
Akan tetapi, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Pertama, kesenjangan antara jumlah lulusan dan jumlah permintaan pelaut di pasar global. Kedua, keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pelatihan di beberapa UPT yang belum merata. Ketiga, kurangnya promosi dan penyuluhan tentang karier pelaut kepada generasi muda, terutama di daerah-daerah yang jauh dari laut.
Di sisi lain, peluang terbuka lebar. Sektor pelayaran dunia kini mengalami transformasi digital dan menuju dekarbonisasi. Hal ini menuntut tenaga kerja yang tidak hanya terampil secara teknis tetapi juga adaptif terhadap teknologi. Hal itu merupakan momen yang tepat bagi lembaga pelatihan di bawah Kementerian Perhubungan untuk mengembangkan kurikulum berbasis teknologi maritim terkini, seperti penggunaan simulator berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), pelatihan siber maritim, hingga green shipping.
Untuk mengoptimalkan potensi profesi pelaut sebagai solusi ketenagakerjaan nasional. Ada beberapa rekomendasi strategis. Pertama, revitalisasi dan perluasan kapasitas lembaga pendidikan pelayaran, termasuk pembangunan kampus pelayaran baru di wilayah timur Indonesia yang memiliki potensi sumber daya manusia tinggi. Kedua, kolaborasi antara Kementerian Perhubungan, Kemendikbudristek, dan Kemenaker untuk merancang program vokasi terpadu berbasis kebutuhan industri pelayaran dunia.
Ketiga, insentif dan pembiayaan pendidikan pelayaran bagi siswa tidak mampu melalui beasiswa maritim nasional dengan penempatan kerja yang terintegrasi. Keempat, digitalisasi sistem pelatihan dan sertifikasi agar lebih efisien, transparan, dan adaptif terhadap kebutuhan teknologi industri pelayaran. Kelima, peningkatan peran perwakilan Indonesia di IMO dan dunia internasional untuk memperluas jaringan kerja sama dan membuka lebih banyak peluang kerja bagi pelaut Indonesia.